Paham Rasisme Terhadap Kaum Tionghoa di AS dan Indonesia

 

Paham Rasisme Terhadap Kaum Tionghoa di AS dan Indonesia

Imigran keturunan Tiongkok (Kaum Tionghoa) mulai berdatangan dan menetap di Amerika Serikat dalam jumlah signifikan sekitar 1850-an. Saat itu, sebagian besar dari mereka tinggal di California dan negara bagian AS sebelah barat.

Saat itu, sebagian besar imigran China bekerja di pertambangan dan konstruksi jalur kereta api. Saat itu, permintaan buruh untuk melakukan pekerjaan berbahaya di bidang konstruksi dengan upah minim sangat tinggi. Para imigran China bersedia memenuhi kebutuhan pekerja tersebut.

Sejak itu, kiasan bernada rasisme bahwa "orang Asia datang untuk mencari pekerjaan warga kulit putih" santer terdengar.

Sentimen anti-Asia saat itu pun terus mendarah daging di sebagian besar warga AS, bahkan hingga ke ranah pemerintahan.

Menurut studi terbaru, kekerasan anti-Asia terus meningkat hingga 150 persen sejak pandemi corona mulai menyebar.

Di awal 2020, sentimen anti-Asia juga diperparah ketika saat itu, Presiden Donald Trump, terus menyebut virus corona itu sebagai "Virus China" yang sedikit banyak memicu stigmatisasi terhadap orang keturunan Asia di Negeri Paman Sam, bahkan dunia Barat.

Deretan ungkapan rasis Trump soal virus Corona ini pun telah memicu kemarahan sejumlah kelompok, yang kemudian memperingatkan Trump bahwa bahasa seperti itu dapat menimbulkan rasisme dan kekerasan terhadap warga Amerika Serikat keturunan Asia.

"Virus ini memiliki lebih nama dari pada penyakit lain dalam sejarah. Saya menamainya kung flu. Saya bisa menyebutkan 19 versi nama yang berbeda," ujar Trump saat berkampanye.

"Tidak rasis sama sekali. Itu berasal dari China. Saya hanya ingin menjadikannya akurat," tambahnya.

Sedangkan di Indonesia, rasisme tidak lepas dari warisan kolonial. Bagaimana dulu Belanda (Eropa) membuat stratifikasi sosial pada masyarakat jajahannya.

Di Indonesia stratifikasi tersebut terbagi menjadi tiga. Yaitu golongan Eropa, golongan Timur Asing yang pada masa itu didominasi keturunan Tionghoa dan Arab, serta golongan pribumi.

Dari situ kita bisa lihat akar rasisme. Kemudian rasisme semakin terbentuk pada masa Orde Baru, ketika pemerintah melakukan represi terhadap etnis Tionghoa.

Kebencian terhadap etnis Tionghoa sebenarnya merupakan konstruksi sosial yang dibikin oleh penguasa, baik Belanda maupun Jawa. Hendri F. Isnaeni, dalam artikel Duka Warga Tionghoa di majalah Historia, menyebutkan bahwa dalam sejarah, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran amuk massa. Mulai Chinezenmoord 1740 sampai Mei 1998. Dalam konteks Perang Jawa masyarakat Jawa saat itu membenci orang Tionghoa karena menjadi bandar-bandar pemungut pajak.

Orang-orang Tionghoa oleh para Sultan Jawa dijadikan bandar-bandar pemungut pajak di jalan-jalan utama, jembatan, pelabuhan, pangkalan di sungai-sungai dan pasar. Melihat efektifnya orang-orang Tionghoa memungut pajak, Belanda dan Inggris melakukan hal yang sama di daerah-daerah yang telah dikuasainya. Tragedi pembantaian Perang Jawa membuat kebencian antara Etnis Jawa dan Tionghoa berkembang. Orang Tionghoa menjadi takut terhadap Orang Jawa sementara Orang Jawa menganggap Tionghoa sebagai mata duitan dan pemeras.

Kebencian ini mendarah daging, menyebar luas, tanpa sempat ada rekonsiliasi atau penjelasan. Kebencian menahun ini yang kemudian berkembang di Indonesia. Hendri F. Isnaeni menulis bahwa pada awal abad ke-20, kembali tercatat peristiwa rasial terhadap etnis Tionghoa, yaitu kerusuhan di Solo pada 1912 dan kerusuhan di Kudus pada 1918. Pada masa revolusi, kembali terjadi gerakan anti etnis Tionghoa, seperti yang terjadi di Tangerang pada Mei-Juli 1946, Bagan Siapi-api pada September 1946, dan Palembang pada Januari 1947.

Tragedi terhadap masyarakat Tionghoa berikutnya terjadi pada saat 1965. Cina yang menjadi negara komunis besar saat itu dianggap punya peran dalam Gerakan 30 September 1965 (G30S). Banyak masyarakat Tionghoa saat itu yang menjadi korban karena dianggap komunis atau mata-mata Tiongkok. Kebencian ini tidak berhenti sampai situ saja, orang-orang Cina dianggap sebagai cukong dan pemeras harta masyarakat lokal. Di sini ide primordial pribumi melawan pendatang menjadi legitimasi untuk melakukan kejahatan.

Selanjutnya tentu saja peristiwa kerusuhan 1998. Saat itu etnis Tionghoa menjadi korban kekerasan, penjarahan dan diskriminasi hebat. Gejala Xenofobia ini merupakan buntut dari kesenjangan ekonomi dan kebencian berdasar prasangka kepada etnis Tionghoa. Saat peristiwa ini terjadi banyak perempuan-perempuan Tionghoa yang diperkosa, tokonya dibakar dan usaha milik mereka dirusak. Kasus ini tak pernah selesai sampai hari ini dan pelakunya tak pernah diusut.

Negara juga berperan menjadi aktor dalam penyulut kebencian terhadap etnis Tionghoa. Melalui Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967, negara berperan melakukan identifikasi rasial dan segregasi identitas. Surat itu adalah upaya penyeragaman menyebutkan kelompok etnis “Tionghoa” yang dianggap mengandung nilai-nilai yang memberi asosiasi-psykopolitis yang negatif bagi rakyat Indonesia, menjadi “Cina” yang dianggap lebih “dikehendaki untuk dipergunakan oleh umumnya Rakyat Indonesia.”

Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.14/1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tiongkok. Inpres tersebut menetapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa haram dirayakan di depan publik.

Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, seluruh perayaan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa, seperti Tahun Baru Imlek, hingga Festival Cap Go Meh dilarang dirayakan secara terbuka. Kebijakan tersebut juga berlaku untuk pementasan Barongsai dan Liong.

Inpres ini dikeluarkan pemerintah Indonesia saat itu dengan alasan untuk mengeliminasi identitas, kebudayaan, dan adat istiadat etnis Tionghoa yang dianggap dapat menimbulkan pengaruh psikologis, mental, dan moril yang kurang wajar terhadap warga negara Indonesia. Selain itu, kebijakan ini juga diberlakukan lantaran pemerintah khawatir adanya kemunculan kaum komunis melalui etnis Tionghoa.

Terakhir bagi yang iri kenapa orang Tionghoa banyak yang sukses jadi pengusaha. Jadi jangan iri membabi buta. Saya jelaskan sejarahnya dan tips rahasia suksesnya orang Tionghoa. Tips ini bisa Kita pelajari sebenarnya dan Kita tiru, biar gak jadi iri buta.

Pada umumnya warga Tionghoa di Indonesia memilih bekerja di bidang perdagangan. Hal ini menurut anggota Komunitas Glodok, Hermawi Taslim, karena pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto, tak ada pilihan bidang pekerjaan lain. Ruang gerak warga Tionghoa, kata dia, dibatasi saat itu.

"Kita dulu ketakutan masuk bidang lain, apalagi politik, lalu masuk ke dunia dagang. Zaman Soeharto enggak ada pilihan lain. Dulu kalaupun di dunia politik, orang Tionghoa hanya jadi bendahara. Lebih baik berdagang, enggak banyak aturan," ujar Taslim dalam diskusi "Imlek dan Peran Tionghoa Kini" di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (21/1/2012).

Sementara itu, sejarawan yang banyak mendalami kehidupan Tionghoa di Indonesia, JJ Rizal, mengatakan, warga Tionghoa mulai terbiasa berdagang karena pada zaman penjajahan Belanda, penduduk asal China menjadi perantara jual-beli untuk berhubungan dengan masyarakat. Hal ini membuat warga Tionghoa dipandang sebagai penguasa ekonomi.

"Dulu orang Tionghoa jadi perantara untuk berhubungan dengan masyarakat dan sering disebut hantu uang atau mesin uang kekuasaan. Secara ekonomi dulu dikuasai masyarakat Tionghoa," ungkap Rizal.

Ia memaparkan, dulu warga Tionghoa susah menggeluti bidang lain karena trauma terhadap pembantaian dan diskriminasi yang terjadi pada tahun 1990-an, undang-undang yang membatasi ruang gerak, dan dijadikan "sapi perahan" yang diperas dengan berbagai alasan, ketika negara gagal dalam perekonomian.

"Orang Tionghoa dulu sering diperas ketika kekuasaan gagal urus negara," ungkapnya.

Sedangkan tips rahasia suksesnya orang Tionghoa adalah:
1. Membaca pasar dan kebutuhan konsumen
Orang Cina dikenal dengan kemampuannya dalam membaca pasar. Inilah kunci penting yang harus dilakukan oleh orang Cina sebelum memulai bisnis mereka. Karena tanpa membaca pasar, mereka tidak akan mengetahui kebutuhan konsumen. Dan itu artinya, bisnis yang mereka jalankan tidak akan berpotensi mendatangkan keuntungan atau kesuksesan.

Jika diperhatikan, bisnis orang Cina selalu berusaha menyediakan apa yang dibutuhkan konsumen. Hal ini tidak mudah dilakukan karena mereka akan sungguhan mengabaikan potensi keuntungan hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumen.

2. Kerja keras tanpa batas
Orang Cina memiliki filosofi “kerja-untung-makan” yang berarti kita bekerja keras agar mendapatkan keuntungan, dan dari keuntungan itulah kita dapat makan. Arti lain dari filosofi tersebut ialah jika seseorang tidak bekerja keras, maka ia tidak boleh makan.

Selain itu, ada pula pepatah yang mengatakan "jika ingin lebih berhasil dari orang lain, kita tidak punya pilihan kecuali bekerja dengan lebih keras dan rajin”.

Masih ada banyak pepatah orang Cina yang mengajarkan bahwa kunci kesuksesan ialah bekerja keras, bahkan sebisa mungkin melebihi kerja keras orang lain. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kerja keras dalam hidup mereka.

3. Pengelolaan uang yang bijak
Bagi orang Cina, perputaran uang dalam bisnis lebih penting dibanding untung besar. Mereka menganggap bisnis sebagai cara untuk menjalin hubungan dengan konsumen. Sehingga mereka lebih mengedepankan kepercayaan konsumen dibanding keuntungan besar.

Menurut mereka, fokus pada besarnya keuntungan hanya akan menaikkan harga barang yang dijual, dan apabila harga barang lebih tinggi dibanding harga yang ditawarkan pesaing maka mereka akan kehilangan pelanggan.

Selain itu, utang adalah aib bagi masyarakat Cina. Utang menjadi pilihan terakhir apabila mereka tak sanggup mendapatkan uang. Namun untuk menghindari hal tersebut, mereka berusaha sebisa mungkin agar hidup hemat dan sederhana.

Bagi mereka, asalkan kebutuhan pokok tercukupi maka itu sudah cukup. Karena itulah, orang Cina seringkali dikenal pelit. Walaupun nyatanya mereka hanya enggan menghamburkan uang untuk hal yang tidak begitu penting.

4. Negosiasi untuk mendapat harga terbaik
Selain dikenal ahli dalam mengelola uang, orang Cina juga dikenal ahli dalam bernegosiasi alias tawar-menawar. Sebagaimana kita ketahui, tawar-menawar merupakan hal yang pasti dilakukan dalam perdagangan.

Bagi orang Cina, tawar-menawar dilakukan agar mereka mendapatkan harga terbaik atas barang-barang yang nantinya dijual kepada konsumen. Dengan harga terbaik, mereka dapat menentukan besar keuntungan yang diperoleh tanpa mengabaikan besar keuntungan supplier.

Selain bertujuan agar mendapatkan harga terbaik atas barang yang ia jual, orang Cina juga melakukan negosiasi sebagai usaha menjalin keakraban antar sesama pebisnis. Untuk tujuan yang satu ini, biasanya mereka melakukannya sambil makan bersama.

5. Berani mengambil risiko
Ciri lain yang dimiliki oleh orang Cina dalam berbisnis ialah berani mengambil risiko. Hal ini juga mencerminkan kesungguhan mereka dalam memulai suatu bisnis.

Sebagaimana telah dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa dalam berbisnis, orang Cina terbiasa untuk memanfaatkan peluang di pasar dan menyediakan kebutuhan konsumen. Karena itu tak jarang jenis bisnis yang mereka jalankan berpotensi rugi di awal.

Akan tetapi selama mereka masih melihat potensi keuntungan dalam jangka panjang, maka mereka akan tetap menjalankan bisnis tersebut. Bahkan tidak main-main, mereka akan menjual aset yang mereka miliki dan menjadikannya modal atau investasi awal.

Tentunya keberanian ini tidak asal, melainkan disertai pertimbangan yang matang saat membaca peluang di pasar.

Sumber:
1. https://www.kompas.com/sains/read/2020/06/04/133000923/antropolog-jelaskan-asal-usul-rasisme-di-indonesia?page=all
2. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210319123452-134-619554/sejarah-anti-asia-di-as-dan-kebencian-terhadap-china/1
3. https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5063131/usai-sebut-virus-china-trump-kini-juluki-virus-corona-kung-flu
4. https://tirto.id/rasisme-terhadap-etnis-tionghoa-dari-masa-ke-masa-bZQN
5. https://m.kumparan.com/kumparantravel/sejarah-imlek-di-indonesia-dikekang-orde-baru-hingga-mendapat-kebebasan-gus-dur-1v2yHadE2Pk
6. https://nasional.kompas.com/read/2012/01/21/15493548/Ini.Alasan.Warga.Tionghoa.Memilih.Jadi.Pedagang
7. https://akurat.co/sssttt-5-rahasia-sukses-berbisnis-ala-orang-cina

Post a Comment

Previous Post Next Post